"GURING?"

RDP DPRD: Bahas Penggusuran Lahan Warga di Pulau Laut Tengah.






Sudah dua kali DPRD Kotabaru menggelar rapat dengar pendapat (RDP) membahas terkait penggusuran lahan warga di Pulau Laut Tengah.

DPRD sudah melaksanakan salah satu tugas fungsinya yaitu menyerap aspirasi masyarakat.

RDP yang digelar di ruang rapat sekretariat DPRD Kotabaru, Selasa (19/12/2017), masih belum ada kejelasan bagaimana tindak lanjut dari Pemerintah Daerah terkait permasalahan yang dialami warga Pulau Laut Tengah tersebut.

RDP DPRD kali ini dipimpin Wakil Ketua I DPRD Kotabaru Muhammad Arif, didampingi Wakil Ketua II DPRD Kotabaru H Mukhni AF dan dihadiri Anggota DPRD lainnya, Mustakim.

Karena pihak eksekutif (Bupati, Wakil Bupati, dan Sekda) serta pihak kepolisian sampai dengan dibukanya RDP ini oleh Muhammad Arif; belum nampak hadir, Sahiduddin menyarankan agar RPD diskor dulu.

Pimpinan rapat, Muhammad Arif pun setuju RDP diskor beberapa menit, setelah juga mendengar saran dari anggota DPRD lainnya.

Setelah pihak-pihak tersebut belum juga hadir dan hanya dihadiri di antaranya perwakilan; PT. Inhutani II, Dinas Perkebunan, dan Dinas Lingkungan Hidup, skor dicabut, RDP pun dilanjutkan kembali.

Sahiduddin, Ketua Forum Masyarakat Peduli Investasi yang hadir bersama warga Pulau Laut Tengah, mengatakan sudah 5 kali RDP (hearing) di DPRD termasuk demo, tidak pernah bertemu dengan pucuk pimpinan, Bupati.

"Ini mau mengurusi daerah atau mau apa. Saya jadi tidak habis mengerti? Ini daerah mau dibawa kemana?" ucapnya.

Bnyak sekali persoalan-persoalan daerah, sambungnya, (Seperti salah satunya persoalan penggusuran ini) yang hanya menyangkut manusianya. Banyak lagi persoalan lain terkait pembangunan.

Sahiduddin berharap pihak eksekutif hadir dalam rangka memberi keputusan. Paling tidak, kata dia, yang mewakili (eksekutif) bisa menyampaikan kepada Bupati atau dinas terkait (tentang yang di kemukakan dalam RDP ini).

Sahiduddin sempat juga melempar Joke (baca: stand up comedy), "Nanti, Bupati dan kepala dinas (terkait) dibelikan pil berani. Pil penghilang takut (diminum) sehari tiga kali sehingga muncul keberaniannya," ucapnya.

Masih kata Mantan Anggota DPRD ini, persoalan-persoalan ini apabila dibiarkan akhirnya akan menjadi beban daerah. Sekitar 139 keluarga yang terganggu ekonominya (yang tanahnya tergusur).

Katanya setelah didata ada 648 keluarga miskin di sana (di Pulau Laut Tengah) yang juga terganggu kehidupannya, ketika lahan yang merupakan pokok pencariannya diganggu oleh perusahaaan (PT.MSAM).

"Kalau dihitung bersama anak-anaknya, mungkin jumlahnya akan ribuan. Ini tentu akan membuat malu pemerintah daerah bahwa di daerahnya ada persoalan (yang akan berdampak terhadap ekonomi masyarakat)."

Sementara, lanjutnya, pemerintah pusat menekankan bahwa investasi masuk dalam rangka mensejahterakan masyarakat.

Lebih jauh dikatakannya, permintaan agar DPRD menggelar RDP ini tidak serta merta.

Permintaan RDP ini, katanya, sudah berdasarkan kajian dan dia mengaku sudah membuat jaringan ke pemerintah pusat ditambah lembaga-lembaga terkait, institusi-institusi terkait untuk menindaklanjuti hasil hearing hari ini (yang terungkap).

(Permintaan) RDP ke DPRD, katanya, adalah hasil konsultasi ke KPK, Mabes Polri, Kejagung, Kementerian Kehutanan, dan LH RI.

Dikatakan pula, RDP ini hanya sebagai legitimasi bahwa pihaknya sudah melakukan langkah-langkah persuasif, langkah-langkah prosedural yaitu dengan melaporkan (persoalan yang di alami warga Pulau Laut Tengah) ini kepada para wakil rakyat.

MN. Asikine Ngile, Ketua LBH Saijaan sebagai pendamping warga berharap
RDP yang dilaksanakan DPRD ini tak hanya sekadar menerima laporan, tetapi ada langkah-langlah yang dilakukan yang akan menjadi pegangan warga.

"Kami sangat berharap pihak kepolisian hadir dan dinas-dinas terkait karena rapat yang dilaksanakan ini untuk memecahkan persoalan. Tidak hanya mendengar keluhan warga, dicatat. Yang kami harapkan kebuntuan persoalan ini ada tindak lanjut, kejelasan langkah-langkahnya," kata Asikine.

Asikine mengemukakan, pada tanggal 5 juli 2017 lalu, juga sudah dibahas hal yang sama. Warga menyampaikan persoalan-persoalan yang terjadi di Pulau Laut Tengah terutama di Desa Selaru, Sungai Pinang (mekarpura), Salino, Sungai Pasir.

Menurut Asikine warga gugup, selalu dibawah tekanan secara psikologis dari hulu sampai hilir.

"Hulunya takut pada PT. Inhutani II karena mereka bekerja dalam kawasan PT. Inhutani II, hilirnya takut dengan PT. MSAM karena tanah-tanah mereka juga diambil oleh perusahaan sawit itu.
Senyaman-nyamanya orang hari ini di sana, berusaha dalam kondisi yang was-was," ujarnya.

Kondisi masyarakat itu, katanya, dia dapatkan setelah berdiskusi dengan masyarakat, "Tanam padi takut kalau digusur, pelihara sawit takut kalau besok diambil. Jadi orang hidup tidak tenang," ungkapnya.

Lebih lanjut Asikine mengemukakan, dari tiga kelompok besar itu ada yang sudah dirusak tanahnya. Ada yang sudah dirusak tanam tumbuhnya. Ada juga yang belum.

"Secara keseluruhan, secara psikologis ada tekanan batin orang-orang Pulau Laut Tengah untuk berusaha," ujarnya.

Asikine menegaskan, yang terjadi di Pulau Laut Tengah itu adalah mutlak pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT. Inhutani II dan PT. MSAM karena kawasan itu mau tidak mau, setuju tidak setuju kementerian memberikan kuasa kepada PT. Inhutani II pada tahun 2006 untuk dijadikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHH) bukan Kayu pada hutan tanaman hutan alam seluas 40.950 hektare dengan batas waktu 45 tahun, sampai tahun 2051, izin PT. Inhutani itu baru berakhir.

Dilanjutkannya, pada tahun 2017 kawasan tersebut dikerjasamakan PT Inhutani II dengan PT MSAM sebanyak sekitar 13.933 hektare padahal, lahan itu lahan hutan. "PT MSAM usaha sawit? Kawasan hutan tidak boleh di rubah jadi sawit," ujarnya.

Asikine mengatakan, kawasan hutan tidak boleh dirubah peruntukannya kecuali dengan izin menteri kehutanan dan LH. "Ini yang kita tidak pernah lihat izinnya. Mana izinnya?".

Pointnya maksud Asikine adalah, dari hulunya saja PT MSAM ini sudah bermasalah.

Terminologi kita, kata Asikine,” Kalau sesuatu itu bermasalah, Insya Allah outputnya juga bermasalah”.

"Awalnya sudah salah, ujungnya jangan berharaf banyak dari persoalan ini,"ucapnya.

Berikutnya ditambahkan Asikine, persoalan-persoalan sosial yang dialami masyarakat adalah PT MSAM tanpa izin sudah melakukan penggusuran tanah-tanah warga, terlepas itu yang sudah diganti rugi atau tidak.

Hal itu, kata Asikine, "Dilakukan pada Juni tahun 2017 dan kita terdiam semua. Dan itu ada aparat keamanan yang mendampingi. Yang mendampingi seakan-akan mengamini proses penghancuran kawasan ini. Sudah kawasan itu salah karena kawasan hutan. Tanah warga pula yang dihancur. Jadi ini ke mana? Sudah salah aturannya, hari ini tanah warga pula diambil," sesalnya.

Masih kata Asikine, tanah warga itu menurut Perpres Nomor 88 Tahun 2017, wajib dikeluarkan dari pengembangan kawasan kehutanan. Membebaskan semua kawasan yang sudah dikelola oleh masyarakat.

"Terhadap persoalan warga itu tiba-tiba pemerintah kita berdiam?"

Inilah, kata Asikine, tujuannya datang ke DPRD untuk mencari pemikiran bersama. "Aparat keamanan bagaimana? Instansi teknis Bagaimana? Dan DPRD bagaimana mensiasati ini agar ada jalan keluarnya."

"Kami sangat menghormati pemerintah yang ada di kotabaru ini. DPRD pasti kita hormati.
Dengan kami hari ini hadir untuk minta petunjuk, arahan. Mari sama-sama kita pikirkan. Ini merupakan bentuk kita menghargai keberadaan pemerintah daerah,"katanya.

Cuma, maksud Asikine, jangan sampai kita terus melanggar adat dan melakukan tindakan-tindakan di luar akal sehat kita.

"Harapan kita ke depan bagaimana nasib tanah warga yang hancur? Bagaimana secara hukum kegiatan yang dilakukan PT MSAM yang melanggar ketentuan perundang-undangan itu?

Menurut Asikine, PT Inhutani II tidak menjaga kawasannya dengan baik.

"Kemudian UU Nomor 18 Tahun 2013 menyatakan bahwa aparat yang berwenang yang membiarkan pengrusakan hutan yang terjadi di daerahnya bisa dipidana.
Bukan hanya kepala KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Pulau Laut dan Sebuku, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel bisa di pidana karena membiarkan pengrusakan hutan yang terjadi di wilayahnya."

Bahkan analisa kawan, tambah Asikine, pejabat di atasnya, Kepala Dinas Kehutanan Kalsel bahkan Gubernur Kalsel harus diminta pertanggungjawabannya.

Pointnya adalah, kata Asikine, "Ini ada kegiatan yang jelas-jelas melanggar hukum kita kok diam? Makanya harapannya adalah kita bersama-sama. Secara bersama pula melaporkan perbuatan PT MSAM dan perbuatan PT Inhutani II, perbuatan kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel kepada (penegak hukum) aparat berwenang. Juga ke KPK seperti yang disampaikan H Iid (H. Sahiduddin) sebelumnya karena ada indikasi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan dan LH RI Cq PT Inhutani II saat melakukan kesepakatan kerjasama dengan PT MSAM tahun 2017 itu."

Menanggapi hal itu, Benar Firmansyah
yang hadir mewakili PT Inhutani II, mengatakan pihaknya hanya menghadiri RDP DPRD ini dan tidak memiliki kapasitas memutuskan.

"Kami hanya menampung.
Kami sudah mencatat beberapa point penting yang disampaikan oleh LBH Saijaan dan masyarakat yang berkaitan dengan penggunaan kawasan temasuk ada pemanfaatan lain di luar perijinan kehutanan,"katanya.

Mendengar pernyataan dari yang mewakili PT. Inhutani II itu, Muhammad Arif sempat meninggi suaranya.

Seharusnya, kata Arif, yang hadir (RDP DPRD) adalah orang yang bisa menjelaskan kondisi riil di lapangan supaya masyarakat terayomi karena tujuan kita, keberadaan PT Inhutani, Pemerintah Daerah adalah untuk mensejahterakan masyarakat.

"Yang hadir seharusnya yang bisa menjelaskan dan bisa mengambil keputusan," ucapnya.

Demikian pula Andies, yang hadir mewakili Kepala Dinas
Perkebunan mengemukakan, perizinan PT MSAM diterbitkan sesuai SK Bupati No 188.45/003/KUM/2014 tanggal 06 Januari 2014 dengan luas izin lokasi sekitar 9372 hektare yang terletak di Desa Semisir, Sungai Pasir, Salino, dan Mekarpura.

Dijelaskannya, IUP (Ijin Usaha Perkebunan) PT MSAM yang dikeluarkan pemerintah daerah itu di APL (Areal Penggunaan Lain), statusnya bukan kawasan hutan.
Menurutnya, IUP dikeluarkan karena titik berat untuk menarik investasi.

Kemudian, Rachmat Hidayat yang hadir mewakil Kepala Dinas Lingkungan Hidup menyatakan,
PT MSAM ada izin lingkungan dan AMDAL-nya.

Dulu, kata Dia, tidak sampai ke kawasan PT Inhutani. "Kalau sudah masuk ke kawasan, itu tinggal bagaimana pemegang izin kawasan hutan," katanya.

Muhammad Arif menyatakan, DPRD akan merekomendasikan LBH Saijaan untuk membawa persoalan warga tersebut ke ranah hukum.

Sayangnya, Bupati Kotabaru atau yang mewakili Kapolres Kotabaru, atau yang mewakili pihak PT MSAM tidak hadir di RDP DPRD ini.

Menurut informasi yang disampaikan dalam RDP ini oleh perwakilan Dinas Lingkungan Hidup bahwa Bupati, Wakil Bupati, Sekda, dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup sedang ada kegiatan di Hutan Meranti Putih, Desa Sebelimbingan.

(IHa)


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to ""GURING?""

Posting Komentar