[Editorial] Kompetensi Wartawan? Tanyakanlah ke Dewan Pers atau Karni Ilyas!

 Iwan Hardi
Pemimpin Redaksi sentral14. id

Sudah sejak lama isu soal kompetensi wartawan ini terdengar di telinga penulis.

Khusus di daerah tempat tinggal penulis,  isunya sayup-sayup terdengar.
Tak gamblang terdengar.
Tak berani dimunculkan diperdengarkan.
Hanya terdengar seperti berbisik, bak bisikan setan yang menghembuskan angin kebohongan, kemunafikan, dibungkus kesopanan bak musang berbulu domba.

Di awal tahun 2018 ini, menjelang proses perpanjangan kontrak antara perusahaan media (cetak maupun online) dengan pemerintah kabupaten, terdengar lagi bisik-bisik soal kompetensi wartawan ini di telinga penulis.
Kedengaran tetap sama, seperti bisikan setan, tak terdengar tapi nyata dirasakan.

"Namanya aja setan, bisikannya pasti mengandung kebencian, fitnah, iri, dengki, hasut, zalim, fasiq, sombong dan perbuatan jahat lainnya".

Apa sih kompetensi wartawan itu?
Kita coba jawab dengan beberapa sudut pandang.

Pada umumnya, ada yang dinamakan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) untuk mendapat sertifikat standar kompetensi wartawan yang diselenggarakan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia).

Apakah hanya PWI yang melaksanakan Uji Kompetensi Wartawan? Tentu tidak!
Organisasi wartawan lainnya juga melaksanakannya atau melaksanakan yang serupa, minimal melaksanakan pelatihan jurnalistik setiap tahun.
Di antara yang melaksanakan Uji Kompetensi Wartawan itu yaitu AJI (Aliansi Jurnalis Independen, IJTI ( Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia).

Tidak hanya tiga organisasi itu saja sebenarnya, banyak organisasi wartawan lain termasuk (FPII) Forum Pers Independent Indonesia.
(baca: UU Pers No. 40 Tahun 1999).

Bahkan tidak hanya organisasi pers yang melaksanakan terkait kompetensi atau sejenisnya itu. Perusahaan pers yang menugaskan wartawan pun wajib membekali pengetahuan terkait jurnalistik kepada wartawannya.

Artinya, tidak hanya PWI yang melaksanakan kompetensi wartawan.

Di sini penulis bukan anti atau menentang kompetensi wartawan yang dilaksanakan PWI.
Justru kepada kawan-kawan wartawan, penulis menyarankan agar harus ikut Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang diselenggarakan PWI ini untuk menambah kemampuan/pengetahuan jurnalistiknya.

Kalau tidak ikut atau belum apakah tidak bisa disebut wartawan?
UU Pers No 40 Tahun 1999, BAB IV, pasal 9, point 1 menyebut, setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.

Mendirikan perusahaan pers tentu bukan orang yang tidak mengerti jurnalistik, pasti orang yang sudah paham tentang jurnalistik.

Kalau mau tahu banyak terkait wartawan itu tinggal baca dan pahami UU Pers nomor 40 tahun 1999, Kode Etik Jurnalistik, Pedoman Media Siber,  dan Code Of Conduct Media masing-masing.

Penulis ingin memberikan satu contoh lagi bahwa bukan kompetensi organisasi yang menjadi syarat seseorang bisa menjadi wartawan itu atau dapat bekerja sama/kontrak pemberitaan dengan mitra kerjanya (eksekutif, legislatif, yudikatif).

Akhir-akhir ini ada kejadian, oknum wartawan terjerat pidana (kena UU ITE). Oknum wartawan ini dianggap tidak/belum memiliki kompetensi wartawan.
Tapi, faktanya oknum wartawan tersebut bisa disebut wartawan karena memiliki kartu wartawan yang dikeluarkan perusahaan pers di mana yang bersangkutan bertugas.
Kesimpulannya, meskipun oknum tersebut dianggap tak berkompetensi/belum berkompetensi namun terkait sepakterjangnya, pihak kepolisian RI tetap minta pendapat Dewan Pers untuk bagaimana mengambil tindakan hukumnya.

Dewan Pers memang diberikan kewenangan terkait pers berdasarkan UU Pers nomor 40 tahun 1999.
Jadi, wartawan sudah bersertifikat UKW PWI atau belum atau tidak sama sekali tetap diakui UU Pers nomor 40 tahun 1999 sebagai seorang Wartawan.

Sekarang kalau mau objektif kita uji saja, apakah semua media/perusahaan pers yang bermitra/melakukan kontrak kerja pemberitaan/iklan dengan pemerintah itu wartawannya sudah memiliki sertifikat Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI?
Penulis yakin sebagian besar tidak/belum bersertifikat UKW PWI.

Kita ambil pengakuan seorang wartawan yang pernah ikut UKW PWI ini, sebut saja namanya Khairudin M Ali.

Dalam tulisannya dia mengaku, di UKW itu bahan ujiannya merupakan pekerjaan sehari-hari wartawan.

Kecuali wartawan abal-abal atau pura-pura wartawan, jelas tak paham Dia!

Soal wartawan abal-abal atau pura-pura wartawan ini sudah sering dibahas, bahkan dalam pelatihan jurnalistik yang sering penulis ikuti tidak ketinggalan membahas sepak terjang wartawan abal-abal, pura-pura wartawan, wartawan muntaber (muncul tanpa berita), wartawan ambungpost (memberitakan berita bunga-bunga) dan istilah-istilah lainnya ini.

Terkait wartawan abal-abal atau pura-pura wartawan ini, di antara mentor penulis, namanya Imi Surya Putra sudah pernah mengatakan yang intinya, "Tak usah diurusi wartawan abal-abal atau pura-pura wartawan itu, ntar juga mati sendiri (alam akan menyeleksinya)".

Kompetensi wartawan sangat erat kaitannya dengan bagaimana wartawan itu menulis berita.

"Bisa nulis gak dia, atau bisanya hanya plagiat?"

Berita itu intinya memenuhi unsur 5W+1H. Ini rumus semua wartawan se-dunia, kecuali wartawan abal-abal atau pura-pura wartawan, mungkin akan kebingungan menjabarkannya. Hehe. 
Maaf jangan tersinggung!
Ini bulan puasa lho!
Mohon maaf lahir batin!

Yang membedakan antara wartawan yang satu dengan wartawan yang lain itu cuma gaya penulisan, cara berceritanya aja.

Ada yang bertuturnya mendayu-dayu, emosional, tegas, menyentuh perasaan bak seorang sastrawan yang sedang membacakan puisinya.
Ada juga yang simpel.  To the point.
Penulis termasuk yang gaya penulisannya simpel.

Simpel aja yang penting pembaca ngerti maksud isi beritanya. 
Pesannya sampai ke pembaca. Tahu kejadiannya. Tahu kapan terjadinya. Tahu di mana tempat kejadiannya. Tahu sebab kejadiannya. Penanganannya bagaimana. Siapa saja orang-orang yang terlibat dalam kejadian itu.

Tidak sulit sebenarnya menulis berita itu.  Hehe!
Sulit juga sih awalnya, sebenarnya!

Menurut Drs. Redi Panuji,  M.Si (baca:Panduan Menulis Untuk Pemula) disebutkan, "Bisa menulis itu bukan bakat tapi karena kerja keras. "

Bahasa penulis yang penting mau belajar!
Ujar Tuan Guru H Zuhdiannor Al Banjari, "Jangan supan belajar, yang penting usahannya.  Tuhan menilai usaha, bukan hasil."

Penulis sependapat dengan penulis lain yang  mengibaratkan, sedikit mempersamakan wartawan dengan perawi hadist jaman tabi'in dan tabiut tabi'in yang menyampaikan dan atau menuliskan informasi dari para sahabat, dari sahabat bersambung ke sumber kebenaran yaitu Nabi Muhammad SAW.
(soal perawi hadist ini silakan tanyakan kepada yang ahlinya).

Sebelum mengakhiri, penulis teringat kata-kata seorang mentor penulis yang intinya, "Ada ikam wartawan yang betampai-tampai, napa ngitu sertifikat Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Amun aku yang meujinya nyata kadaku lulusakan dah," tegas Imi Surya Putra.

Penulis mengakhiri.
"Kalau mau tanya terkait wartawan/perusahaan pers/kompetensi wartawan, bertanyalah ke Dewan Pers atau Karni Ilyas, Presiden ILC.
Kenapa ke Karni Ilyas, karena Karni Ilyas dalam penyajian terkait pemberitaan/ jurnalistik selalu berusaha objektif dan berimbang".

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "[Editorial] Kompetensi Wartawan? Tanyakanlah ke Dewan Pers atau Karni Ilyas!"

Posting Komentar