Hafidz: Raperda Bantuan Hukum Masyarakat Miskin; Positif! Lainnya Juga Diusulkan..


Hafidz Halim SH, seorang pengacara asal  Kotabaru menanggapi positif rancangan peraturan daerah (Raperda) yang sedang digodok DPRD Kotabaru.

Raperda itu tentang bantuan hukum kepada masyarakat kurang mampu (miskin).

"Bagus lah Perda itu dibuat karena memang diperlukan masyarakat kecil, masyarakat bawah atau masyarakat kurang mampu (miskin)," kata Hafidz, Kamis (11/6/2020).

Memang, kata Hafidz, di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang bantuan hukum, advokat yang terdaftar di dalam atau di struktur organisasi bantuan hukum, misalnya, pos bantuan hukum, dan atau lembaga bantuan hukum, sifatnya
memang membantu masyarakat kecil dan menengah.

"Dalam UU itu memang ada kewajiban advokat membantu masyarakat miskin," beber Hafidz.

Dengan adanya Perda ini, kata Hafidz, alangkah lebih baik, jadi istilahnya advokat di luar struktur pos bantuan hukum atau advokat muda, bisa
bergabung; bersatu, kemudian diverifikasi pemerintah di mana organisasi-organisasi bantuan
hukum yang bisa membantu masyarakat kurang mampu itu.

"Nah itu nanti bagi masyarakat miskin yang mendapat pendampingan hukum, bisa nanti diganti biaya pendampingan hukumnya oleh pemerintah," ucapnya.

Tapi, kata Hafidz Perda itu tidak boleh berbenturan dengan UU atau peraturan di atasnya (undang-undang yang berlaku nasional).

"Perda ini sifatnya hanya untuk mengakomodir kearifan lokal dengan prosedur surat keterengan tidak mampu," kata Hafidz.

Yang pasti, kata Hafidz, perda ini tujuannya nanti harus benar-benar menjamin kepastian hukum dan keadilan masyarakat.

Lebih jauh Hafidz mengungkapkan, sampai saat ini masyarakat banyak menganggap bahwa menggunakan jasa advokat itu biayanya mahal.

Biaya atau jasa untuk advokat itu, terang Hafidz, memang sudah ada di Undang-Udang Advokat.

"Jasa advokat itu sah-sah saja karena terkait profesinya. Misal advokat mau minta bayaran berapapun sah-sah saja sesuai kesepakatan para pihak. Undang-undang menyatakan bahwa advokat itu profesi.
Namun tadi, dengan bantuan hukum itu, advokat yang tergabung dalam organisasi bantuan hukum, wajib
membantu masyarakat yang memang tidak mampu," terang pengacara kelahiran Pulau Laut ini.

Di luar Perda tentang bantuan hukum masyarakat kurang mampu ini, Hafidz berharap DPRD Kotabaru juga bisa mengusulkan ke pemerintah pusat terkait kepastian hukum bagi masyarakat terkait pidana khusus.

"Terkait pidana khusus ini kadang masyarakat tidak mengerti sama sekali.
Misal Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang kawasan hutan.
Misal ada masyarakat yang menebang pohon di dalam hutan kawasan. Masyarakat tau nggak itu hutan kawasan? Kan mereka tidak tau di mana batas-batas hutan kawasan itu?"
Beda halnya korporasi atau perusahaan.

Dikatakan Hafidz, masyarakat menebang kayu biasanya hanya untuk kebutuhan hidup, hanya untuk sandang, pangan, papan, untuk makan sehari - hari, hanya untuk menghidupi keluarganya.

"Walau begitu kan bisa terjadi penangkapan terhadap masyarakat yang tidak paham tadi, akhirnya para
aktivis, para praktisi hukum di pusat melakukan gebrakan. Mereka mengajukan gugatan ke Mahkamah Konsitusi dan dikabulkan. Akhirnya masyarakat dibebaskan dan diberikan hak-haknya melakukan penebangan di dalam hutan kawasan. Tetapi hanya dibolehkan bagi masyarakat yang berdominisi atau warga yang bertempat tinggal di hutan kawasan itu saja; masyarakat yang sudah tinggal menetap di dalam hutan kawasan itu."

Artinya, lanjut Hafidz, keadaan itu berarti masih ada kekosongan
hukum bagi masyarakat yang tidak tinggal di kawasan hutan, tapi pekerjaannya memang memanfaatkan hasil hutan.

"Kekosongan hukum inilah yang harus dibuatkan peraturan pemerintahnya, di mana bagi masyarakat yang tidak tinggal atau tidak menetap di hutan kawasan itu, dan pekerjaannya memang mencari kayu atau menebang kayu-kayu yang memang boleh ditebang atau tanamannya sendiri atau tanaman keluarganya, hendaknya diusulkan untuk dibuatkan peraturannya."

Membuat aturan untuk mengisi kekosongan hukum bagi maayarakat yang tidak tinggal di dalam kawasan hutan tapi memang pekerjaannya memanfaatkan hasil hutan itu, kata Hafidz, sesuai dengan Udang - Undang Dasar 1945, Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi," Bumi air dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat."

Jadi maksud Hafidz, peraturan yang dibuat hendaknya berasaskan kearifan lokal.

"Nah jadi masyarakat yang di luar hutan kawasan ini berhak juga untuk menebang pohon, tapi dilihat
juga, tidak dalam jumlah besar berhektare-hektare, tapi hanya sekadar untuk kebutuhan sandang, pangan, dan papan untuk hidup."

Selain itu, Hafidz juga menyinggung adanya kekosongan hukun terkait pengangkutan kayu.

"Ini kan banyak masalah. Banyak
terjerat hukum yang mengangkut kayu yang hanya menggunakan mobil pickup bahkan mobilnya nyewa.
Misalnya saat ditangkap, ditekan, disita mobilnya bahkan orang atau sopirnya sampai dipenjara bertahun-tahun.
Hal ini juga berhubungan
dengan pasal-pasal, aturan yang berubah-rubah dari tahuh 2017.
Ada peraturan menteri yang berubah-rubah terkait ini."

Selain itu, kata Hafidz, di area penggunaan lain (APL) terkait Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) kayu, kemudian dirubah lagi oleh peraturan menteri, lalu dengan peraturan menteri itu dipidanakan, kayunya dikembalikan ke hutan, sementara, ini berada di hutan hak, jadi berbenturan.
Berbenturan dengan undang - undang itu sendiri. Peraturan itu berbenturan dengan undang- undang," katanya.

Jadi, sambung Hafidz, terkait kegiatan yang dilakukan itu bisa ditahan apabila bekerja di hutan bukan budidaya tanaman.

"Kata-kata bukan budidaya ini kan ngeri. Ngeri kan? Coba bayangkan kita menanam di 'tanah kita sendiri' kemudian ada tumbuhan lain tanpa budidaya. Katakanlah misalnya ada pohon sengon yang dibudidaya, nah ketika kita tebang kemudian kita angkut, ada pidananya karena ada kekosongan hukum di situ.
Karena di dalamnya mengacu kepada undang - undang itu."

Nah, lanjut Hafidz, hal ini perlu dipikirkan pemerintah daerah melalui DPRD Kotabaru untuk mengajukan ke pusat.

"Terkait pengangkutan itupun seperti surat keterangan asal kayu, ini perlu diberikan pemahaman kepada masyarakat. Contoh yang rawan ini kan daerah Pulau Laut Tengah. Di Pulau
Laut Tengah di dalam kawasan itu kan ada pohon - pohon yang diambil oleh masyarakat. Misalnya kayu hasil penggusuran lahan. Penggusuran hak siapa lah misalnya kerja sama dengan perusahaan lah. Jadi misalnya diambil masyarakat kayunya. Ketika kayu itu diambil tanpa SKSH (surat keterangan hasil hutan), masyarakat bisa dipidana. Nah sementara perusahaan tidak apa-apa beroperasi di dalam hutan kawasan.
Namun bagi korporasi; manajemen mereka lebih mudah melangkah ke kementrian untuk mendapatkan izin. Kecuali mereka tidak membuat izin menteri, maka ada sanksi pidananya baik dengan berencana, hingga melaksanakan aktivitas perkebunan maupun pertambangan di atas hutan kawasan."

Terakhir Hafidz memaparkan terkait masalah minyak dan gas.

"Masyarakat yang mengangkut minyak
misalnya, nah ini perlu juga diperhatikan. Apakah mereka membeli dengan harga subsidi di
SPBU atau membeli dengan harga non subsidi?
Ketika mereka membeli dengan harga subsidi harus diperhatikan tidak
hanya yang mengangkut saja yang dipidanakan.

"Jadi menurut Undang - Undang Dasar 1945, kita, siapapun dia, apapun dia, semua sama kedudukannya di mata hukum."

(IHa/Rahman)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hafidz: Raperda Bantuan Hukum Masyarakat Miskin; Positif! Lainnya Juga Diusulkan.."

Posting Komentar