HPN 2025: Pers, Wartawan, dan Idealisme Wartawan
![]() |
(Foto: Ist) |
Bismillahirrahmanirraahim.
Subhanallah.
Alhamdulillah
Lailahaillallah.
Allahu Akbar.
La Haula Wala Quwwata Illa Billah.
Allahumma Sholli Ala Sayyidina Muhammad Wa Ala Ali Sayyidina Muhammad.
Semoga kita semua dan anak cucu kita tetap bersalawat kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, kepada keluarga Beliau, serta pengikut Beliau hingga datangnya embusan angin lembut dari Yaman (sebelum hari kiamat).
Selamat Hari Pers Nasional (HPN) ke-79 tahun 2025, baik yang diperingati dan dirayakan di Banjarmasin maupun yang merayakan di Riau, karena ada dualisme Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Tidak masalah ada dua PWI yang penting tetap membina wartawan dan tetap memperjuangkan kesejahteraan wartawan.
Sudah banyak tulisan wartawan lain di peringatan HPN 2025 ini.
Sebelumnya, baiknya kita ingat memaknai kembali apa itu pers juncto wartawan atau jurnalis.
UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 (ini UU luar biasa karena tidak ada aturan pelaksananya).
BAB IV
PERUSAHAAN PERS
Pasal 9
(1)Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
(2)Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Penjelasan:
Pasal 9
Ayat (1)
Setiap warga negara Indonesia berhak atas kesempatan yang sama untuk bekerja sesuai dengan Hak Asasi Manusia, termasuk mendirikan perusahaan pers sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pers nasional mempunyai fungsi dan peranan yang penting dan strategis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, negara dapat mendirikan perusahaan pers dengan membentuk lembaga atau badan usaha untuk menyelenggarakan usaha pers.
Ayat (2)
Cukup jelas
Saya berpendapat, badan hukum pers dalam bentuk perseroan dan boleh perseorangan (karena sudah ada aturannya).
Kalaupun ada pihak yang tidak mengakui badan hukum pers perseorangan adalah badan hukum pers, mari nanti kita buktikan di pengadilan (yang adil) apabila ada delik pers yang mempersoalkan badan hukum pers perseorangan.
Saya menyarankan apabila ada gubernur, bupati/ walikota yang membuat peraturan yang terkesan tidak mengakui badan hukum pers perseorangan lebih baik dicabut peraturan itu.
Wartawan/ jurnalis (ini adalah profesi), dulu sebutannya kuli tinta.
UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, poin (4) mengatakan, Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Dari Budi Ismanto dari Imi Surya Putra, dulu waktu saya masih jadi wartawannya, mereka pernah berkata (memberi pelajaran dan berpesan)"Tulis aja berita terus (setiap hari)...."
Tidak ada wartawan yang langsung bisa menulis dan langsung aktif melaksanakan kegiatan jurnalistik apalagi di bawah tekanan dan ditambah tidak ada penghasilan pasti (kada beduit)
Saya sudah mengalaminya waktu belajar dan baru terjun ke dunia wartawan begitu sulitnya bagaimana memulai menulis alenia pertama.
Pemimpin Redaksi Jurnalisia, Imi Surya Putra waktu itu hanya dengan melihat kejadian, dan setelah kejadian langsung mengambil iped-nya langsung mengetik naskah berita langsung jadi beritanya.
Mau jadi wartawan tidak harus sarjana komunikasi, sarjana jurusan apa saja bisa, bahkan yang ijazahnya paket pun bisa asal mau belajar serius, berusaha pelan-pelan. Intinya, kuatkan dalam hati "Aku harus bisa menulis berita, malu punya idcard Pers kalau tidak bisa menulis berita".
Tidak jarang memang orang berstatus wartawan (punya idcard pers), tapi tidak bisa menulis, bahkan hanya sekadar menulis berita kegiatan seremonial, jauh lagi menulis berita konflik (yang berpotensi dipermasalahkan orang).
Prinsipnya bagi saya adalah, walaupun tulisan kita tidak seindah dan sebagus tulisan Pemimpin Redaksi Jurnal Banua, Zalyan Shodikin Abdi (tulisan kawan ini tulisan beritanya tergolong level tinggi karena ada unsur sastra dan feature dalam tulisan beritanya), yang penting tulisan itu karya kita sendiri, bukan hasil copy paste atau plagiat, ini masih dihargai wartawan lain.
Sekarang saya buka.
(Eh.. jadi ingat mantan Sekda Kotabaru almarhum Said Akhmad, semoga beliau hunsul khatimah. Beliau kalau ngobrol atau diwawancarai sering keluar kalimat yang menjadi ciri khas beliau yang kami ingat kalimatnya "Sini kubuka" maksudnya kukemukakan.
Walaupun tulisan bagus, tapi hasil copy paste kami tahu, karena ada ciri-cirinya. Jadi, berusahalah belajar menulis naskah berita (paksakan), insya Allah bisa.
Ada lagi yang menggelitik. Saya sering mendengar dan melihat ada wartawan yang membicarakan atau menunjukkan bahwa dia wartawan sudah kompeten (sudah lulus uji kompetensi wartawan- punya kartu UKW). "Saya pun punya," Hehe.
Menurut Ahli Pers Dewan Pers (almarhum) Kamsul Hasan pernah menyatakan bahwa wartawan punya kartu UKW itu tidak wajib, tapi sunnah.
Saya setuju, tapi bagus apabila wartawan itu sudah lulus UKW (buat jaga-jaga aja kalau ada wartawan yang ngoyo.Hehe).
Tapi, jangan merasa yang sudah UKW itu menganggap rendah atau menganggap wartawan yang belum UKW itu tidak kompeten, karena tidak sedikit wartawan yang sudah lulus UKW tidak melaksanakan fungsi kontrol sosialnya (lihat empat fungsi pers)bahkan tidak paham penulisan berita.
Jadi,UKW dan belum UKW itu tidak penting, yang penting wartawan itu aktif melaksanakan tugas jurnalistik (rajin liputan).
Apakah wartawan harus lulus UKW dulu baru bisa jadi wartawan, kan tidak!?
Idialisme Wartawan
Soal idialisme wartawan ini terkait duit. Wartawan akan sulit idealis kalau kada beduit (tidak punya duit)itu manusiawi.
Coba lihat wartawan-wartawan senior kita, apakah mereka langsung kaya? Kebanyakan wartawan top itu tidak langsung beduit(kaya).
Ingat pesan (pepadahan Bang Budi dan Bang Imi) di atas. Kalimatnya itu ada sambungannya. Ini kalimat lengkapnya "Tulis aja terus berita, duit akan datang (sorang) dengan sendirinya".
Sebagai pilar keempat demokrasi, kita kan sudah tahu bahwa negara sudah memberikan anggaran belanja iklannya kepada kita. Di situlah salah satu sumber pendapatan kita (tapi jangan dimonopoli buhan ikam ja).
Beda dengan tiga pilar negara lainnya, eksekutif, legislatif, dan yudikatif (anggaran mereka sudah ada tiap tahun).
Jadi, ingat pesan Bang Budi dan Bang Imi ya...!
Idealnya lagi yang paling bagus kita punya duit sendiri tanpa harus tiap tahun kontrak kerja sama pemberitaan dengan pemerintah, tapi kan belum bisa kayaknya.
Jangan lupa, setiap yang bergerak pasti ada rezekinya, kita laksanakan tugas aja.
"Mudah-mudahan wartawan yang aktif melaksanakan tugas jurnalistik mengawal demokrasi cepat kaya tujuh turunan sampai datangnya embusan angin lembut dari Yaman. Aamiin".
Mohon maaf bila ada salah kata.
Wassalam
Pemimpin Redaksi sentral14
Iwan Hardi
0 Response to "HPN 2025: Pers, Wartawan, dan Idealisme Wartawan"
Posting Komentar